Perkembangan Tapak Suci di Eropa

Advertisement
Perkembangan Tapak Suci di Eropa
Perkembangan Tapak Suci di Eropa

Di antara berbagai seni bela diri di dunia, pencak silat mungkin menjadi seni bela diri yang paling tidak populer. Ketidakpopuleran pencak silat begitu tinggi sampai thesaurus.com tidak memasukkan seni bela diri ini ke dalam entri martial art. Salah satu alasan dibalik tidak populernya pencak silat mungkin karena sangat sedikit film internasional yang menampilkan seni bertarung asli Indonesia ini. Kebanyakan film tentang bela diri, terutama yang diproduksi oleh Hollywood, menampilkan kung fu atau karate. Baru di tahun 2011, pecinta film di seluruh dunia bisa mengenal pencak silat melalui film berjudul “The Raid”. Setelah tayangan perdananya di Festival Film Toronto pada bulan September 2011, The Raid didistribusikan ke paling tidak sembilan negara. Lebih lanjut, kritik dari dua surat kabar terkemuka Inggris, The Guardian dan Observer, mengakui The Raid sebagai salah satu dari 10 film bela diri teratas.


Orang Eropa dan Pencak Silat: Alasan dibalik ketertarikan mereka

Film The Raid yang datang dengan kritik dan ulasan positifnya telah membuat pencak silat sedikit lebih dikenal di manca negara. Meskipun demikian, itu bukan alasan kenapa Elisabeth Reznik bergabung dengan perguruan Tapak Suci Bonn pada tahun 2013. Baginya sangat penting untuk menemukan jati diri  ketika melakukan sesuatu yang ia sukai. Setelah tidak sengaja mengunjungi situs web perguruan Tapak Suci Eropa, dia memutuskan untuk mendaftarkan diri. “Saya ingin melakukan olahraga atau apapun yang berhubungan dengan seni bela diri. Saya mencoba silat dan langsung cocok”, jelas mahasiswi Digital Film di kota Cologne ini.


Penemuan jati diri melalui seni bela diri juga menjadi motivasi Juan Carlos dalam mendalami pencak silat. Pelatih dengan sabuk biru ini berencana untuk terus mendalami silat dan meraih sabuk hitam (level pendekar).


ELISABETH: SAYA SUDAH TERTARIK DENGAN SENI BELA DIRI SEJAK LAMA. TAPI SAYA TIDAK MENEMUKAN OLAHRAGA YANG TEPAT BUAT SAYA. LALU SUATU HARI, SAYA BERSELANCAR DI INTERNET DAN SAYA MENEMUKAN INFORMASI TENTANG SILAT DAN SAYA SANGAT TERTARIK. SAYA DATANG KESINI UNTUK LATIHAN. DAN SAYA LANGSUNG MENCINTAI SILAT SEJAK HARI PERTAMA. SAYA PUNYA BEBERAPA TEMAN YANG JUGA BERLATIH SENI BELA DIRI LAIN. SATU TEMAN SAYA BERLATIH TAE KWON DO. SAYA IKUT LATIHAN DAN SAYA MERASA TAE KWON DO TIDAK COCOK UNTUK SAYA. SAYA TIDAK MENEMUKAN JATI DIRI SAYA DI OLAHRAGA ITU. SILAT PUNYA VARIASI SENJATA YANG LUAR BIASA, GERAKANNYA SEPERTI MENARI NAMUN BRUTAL, DAN KOMBINASI INI MEMBUAT PENCAK SILAT SANGAT MENARIK. SAYA SUKA BERLATIH DENGAN SENJATA, TERUTAMA DENGAN GOLOK. ITU KEREN. KALAU KAMU LIHAT, ITU BRUTAL TAPI JUGA CANTIK. KOMBINASI “BEAUTY AND THE BEAST” INI BAGI SAYA SANGAT MEMPESONA.


JUAN CARLOS: SAYA TERHUBUNG DENGAN KULTUR INDONESIA DAN JIKA SAYA MELAKUKAN SENI BELA DIRI, MAKA ITU HARUS SILAT. JIKA SAYA BANDINGKAN DENGAN KUNG FU, -SAYA PUNYA BEBERAPA TEMAN YANG MELAKUKAN KUNG FU-, SILAT TIDAK SAMA, MUNGKIN LEBIH BRUTAL TAPI KEDUANYA MEMILIKI GERAKAN MEMATIKAN. SAYA TIDAK MAU BERLATIH KARATE KARENA DISITU KAMU HARUS LEBIH KUAT, SEMENTARA DI SILAT KAMU HARUS BERGERAK LEBIH CEPAT DAN ITU ADALAH GAYA SAYA, ITU YANG SAYA SUKA. KAMI PUNYA DUA SEKOLAH, SATU DI BONN DAN SATU DI COLOGNE. DI COLOGNE ADA TIGA PELATIH DAN DI BONN ADA DUA PELATIH. SAYA ADALAH SALAH SATU DARI PELATIH. KETIKA MAS JOKO SAKIT ATAU TIDAK BISA DATANG KE LATIHAN, SALAH SATU DARI KAMI MELATIH. SAYA AKAN TERUS BERLATIH SILAT DAN TIDAK AKAN BERPIKIR UNTUK MENGGANTI SILAT DENGAN YANG LAIN. 

NAMA SAYA JULIAN. SAYA BERASAL DARI COLOGNE. SAYA 29 TAHUN. SAYA BERLATIH PENCAK SILAT KARENA ITU SANGAT SERU, SANGAT BERVARIASI, BELAJAR BANYAK TEKNIK YANG BERBEDA. SAYA SANGAT SUKA ORANG-ORANG YANG SAYA TEMUI DISINI. (PENCAK SILAT) SANGAT BAGUS UNTUK KESEHATAN FISIK. SAYA INGIN TERUS BERLATIH DAN PASTI SAYA INGIN MEMILIKI PROGRES. MUNGKIN SUATU HARI SAYA AKAN DAPAT SABUK BIRU ATAU BERPARTISIPASI DI TURNAMEN.

NAMA SAYA EVA. SAYA 23 TAHUN. SAYA MENGENAL PENCAK SILAT DARI PACAR SAYA, YANG TELAH BERLATIH PENCAK SILAT SELAMA LEBIH DARI ENAM TAHUN. SAYA IKUT LATIHAN PENCAK SILAT DENGAN DIA SATU KALI DAN SAYA LANGSUNG SUKA. DAN SAYA BERLATIH PENCAK SILAT KARENA BEBERAPA ALASAN. SAYA PEREMPUAN YANG BERTUBUH KECIL DAN SAYA MENCOBA BEBERAPA OLAHRAGA SEBELUMNYA DAN SAYA TIDAK SUKA. SAYA INGIN TERUS BERLATIH SILAT UNTUK WAKTU LAMA DAN SAYA SUKA ITU. 

NAMA SAYA ROY. SAYA DARI BELANDA. SAYA 20 TAHUN. SAYA SUDAH BERLATIH PENCAK SILAT SELAMA 12 TAHUN. SAYA MULAI KETIKA TETANGGA SAYA MENGUNDANG SAYA KERUMAHNYA UNTUK BERLATIH. SAYA SUKA DAN MASIH TERUS SUKA. SAYA BERLATIH UNTUK DIRI SAYA, UNTUK KEPERCAYAAN DIRI DAN PERTAHANAN DIRI. 

NAMA SAYA DRAGAN. SAYA 32 TAHUN. SAYA DARI WINA. SAYA TERTARIK DENGAN PENCAK SILAT KARENA SEBELUMNYA SAYA MELAKUKAN BANYAK HAL SEPERTI KICKBOXING DAN KUNG FU DAN ITU TERLALU KERAS, TIDAK ADA GERAKAN DASAR DAN TIDAK ADA SEMANGAT DALAM OLAHRAGA ITU. OLEH KARENA ITU, SAYA PINDAH KE PENCAK SILAT. 

Kesulitan dan tantangan yang dihadapi

Para siswa memang sangat gemar berlatih silat, namun bukan berarti itu tanpa hambatan. Elisabeth dan Juan Carlos menemukan bermacam kesulitan dalam silat. Bagi Elisabeth, pencak silat memiliki gerakan yang cukup sulit. “Gerakan-gerakannya sangat berbeda dan spesial. Sebagai orang Eropa, saya tidak terbiasa dengan gerakan silat.” Kendala yang sama juga dihadapi oleh Juan Carlos. “Ketika kamu menonton kompetisi pencak silat, kamu bisa langsung tahu perbedaan gerakan silat antara orang Indonesia dan orang dari belahan dunia lain. Gerakan orang-orang Indonesia lebih halus dan lentur”, jelasnya. Namun, kesulitan ini memotivasi Juan Carlos untuk terus memoles gerak dan langkahnya di setiap sesi latihan.  “Saya tidak lentur dan tidak mampu melakukan gerakan silat seperti bagaimana orang-orang Indonesia melakukannya, tapi saya berlatih setiap hari untuk menjadi lebih baik. Saya merasa gerakan saya bertambah baik. Jadi, itulah motivasi saya untuk terus berlatih”.


Joko Suseno dan Arthur Brenkman, pendekar/pelatih sekaligus koordinator dan wakil koordinator Tapak Suci Eropa, berpendapat bahwa perbedaan budaya menjadi tantangan dalam mengajarkan pencak silat di Eropa. Audio Soundcloud berikut berisi pengalaman Arthur Brenkman, pelatih dari Belanda, dalam melatih silat di Belanda. Audio dalam bahasa Inggris.

SILAT DI INDONESIA TERJALIN ERAT DENGAN BUDAYA. MENURUT SAYA, SEGALA HAL BERKAITAN DENGAN SILAT. DI BELANDA, SULIT UNTUK MENGAJARKAN BUDAYA, KARENA SILAT PENUH DENGAN ADAT, PERATURAN, BAGAIMANA MENGGUNAKAN TANGAN, BAGAIMANA HARUS BERGERAK, ITU SEMUA PENTING. DAN SAYA HARUS MENGAJARKAN BUDAYA YANG SEPENUHNYA BERBEDA DI BELANDA, TAPI SAYA TIDAK PERLU MENGAJARKAN BUDAYA DI INDONESIA. ORANG INDONESIA SUDAH TAHU BAHWA MEREKA HARUS MENGGUNAKAN TANGAN KANAN, MEREKA HARUS BERLAKU SOPAN,  MEREKA BERJALAN KE BELAKANG KALAU MAU KELUAR RUANGAN. NAMUN DI BELANDA, KAMI TIDAK MEMILIKI HAL-HAL TERKAIT ADAT SEPERTI ITU. JADI SAYA JUGA HARUS MENGAJARKAN HAL ITU DAN ITU PERBEDAANNYA. DAN DALAM HAL GERAKAN, ITU JUGA SAMA. ORANG INDONESIA JAUH LEBIH LENTUR. MEREKA MEMILIKI KELENTURAN DALAM GERAKAN-GERAKAN MEREKA DAN ORANG-ORANG BELANDA TIDAK MEMILIKI ITU.

Telah mengenal budaya Indonesia sebelum berlatih pencak silat, Juan Carlos tidak pernah menemukan kesulitan dalam memahami sisi budaya dalam seni bela diri Indonesia. Sesekali, ia menjembatani kesalahpahaman yang terjadi antara guru dan siswa. Menurutnya, aspek budaya lah yang membuat pencak silat begitu mempesona.”Jika kamu meninggalkan aspek budaya dan hanya mengajarkan teknik bela diri, kamu bukan mengajarkan pencak silat. Saya sudah menyaksikan orang-orang yang belajar silat dari guru orang Eropa dan saya bisa tahu bahwa mereka tidak diajarkan oleh orang Indonesia. Kamu bisa melihatnya dari cara mereka bergerak dan berkelakuan. Jika gerakan silat tidak diajarkan secara tradisional, maka silat hanya akan seperti seni bela diri lainnya.”
Advertisement
Perkembangan Tapak Suci di Eropa | Blogger Pabrik Tas Ransel | 5